Langsung ke konten utama

Essay tentang kekerasan seksual

Keterkaitan Korban Kekerasan Seksual yang Melakukan Speak Up di Media Sosial untuk Mencari Keadilan dengan Teori Spiral of Silence

Persoalan kasus kekerasan seksual di Indonesia menjadi salah satu isu hangat yang ramai diperbincangkan. Kasus ini menjadi sebuah polemik yang tidak pernah usai sejak lama, bahkan dalam beberapa waktu terakhir, angka kasus pemerkosaan dan pelecehan yang menimpa perempuan kian meningkat tajam. Kementerian Perberdayaan Perempuan dan Anak (KPPPA) mencatat sebanyak 8.800 kasus kekerasaan seksual terjadi dari Januari sampai November 2021. Kasus ini banyak terjadi di berbagai tempat yang selama ini dianggap aman, seperti sekolah, perguruan tinggi, hingga pesantren. Korbannya pun beragam, mulai dari santri, mahasiswa, sampai anak kecil pun bisa menjadi korban. Kasus kekerasan seksual yang baru-baru ini terjadi, seperti kasus oknum ustadz pesantren cabul hingga dosen yang melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswinya, semakin menjelaskan bahwa tidak ada tempat yang aman bagi perempuan.

Kasus-kasus yang kini beredar membuat banyak pihak merasa geram, sehingga menekan pemerintah untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Dengan adanya payung hukum ini, akan membuat korban lebih leluasa dalam melaporkan segala tindakan kekerasan yang terjadi. Tetapi pada kenyataannya, sampai saat ini RUU PKS belum disahkan. Padahal Indonesia sudah darurat kekerasan seksual.

Adanya tekanan sosial, perasaan malu dan lemahnya hukum menjadi pemicu kenapa angka kasus kekerasan seksual masih terbilang tinggi. Dalam kasus ini juga kerap terjadi perundungan terhadap korban. Korban menjadi semakin tersudutkan saat berhadapan dengan pelaku yang mempunyai status sosial yang lebih tinggi. Ketika melapor tetapi minim bukti, akhirnya dilaporkan balik oleh si pelaku atas kasus pencemaran nama baik. Bukti inilah yang sering kali membuat korban merasa kesulitan ketika akan melaporkan kasus yang menimpanya, padahal korban sendiri merupakan saksi utamanya. Dalam konteks pemerkosaan, pembuktian itu harusnya ada di aparat penegak hukum, bukan di korban. Korban yang seharusnya didampingi dan dipulihkan fisik, mental dan jiwanya, tapi justru malah dihakimi. Hal inilah yang menyebabkan korban takut untuk mengungkapkan kasus yang dialaminya. Alhasil, kasus-kasus semacam ini berakhir dengan terkubur, sementara lingkungan sosial semakin tidak aware dan mengabaikannya.

Seiring pesatnya perkembangan digitalisasi, menyebabkan penyebaran dan penerimaan informasi menjadi lebih cepat. Adanya beragam gerakan dan kampanye anti kekerasan seksual di media sosial membuat fenomena baru di masyarakat. Dimana saat ini, para korban mulai berani untuk buka suara serta mengedukasi khalayak masa berdasarkan kasus yang menimpa mereka di berbagai platform, khususnya twitter. Dalam hal ini, media sosial menjadi salah satu ruang untuk berekspresi bagi semua orang, terutama korban kekerasan seksual. Media sosial berperan sebagai ruang pengaduan yang lebih efektif daripada melapor ke pihak berwajib dengan proses yang berbelit. Jika sebuah kasus viral, pelaku akan lebih cepat mendapatkan sanksi sosial. Selain itu, media yang digunakan dapat menjadi jembatan penghubung yang menghubungkan korban pada layanan hukum seperti yang seharusnya korban dapatkan.

Speak up mengenai kasus kekerasan seksual di media sosial, bukan menjadi hal yang mudah untuk dilakukan. Dengan publikasi dan sorotan yang hadir, tentu akan memengaruhi korban dalam mendapatkan dukungan atas kejadian yang menimpanya. Sama halnya dengan 2 sisi mata uang,  yang tidak bisa dihindari dampak positif dan negatifnya. Apabila korban mempunyai bukti yang jelas bahwa ia dilecehkan, maka dukungan dari warganet pun akan mengangkat kasus tersebut, sehingga pelaku akan segera mendapatkan hukuman. Tetapi di sisi lain, warganet bisa bersikap skeptis, hingga menimbulkan victim blamming dan menganggap korban tidak benar dan sedang mencari sensasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan teori spiral of silence, “Ketika ingin diakui dalam masyarakat mayoritas, maka harus bisa mendapatkan suara dari mayoritas tersebut.”


Teori Spiral of Silence sendiri pertama kali dikemukakan oleh ilmuwan politik Jerman Elisabeth Noelle-Neumann pada tahun 1974. Teori ini menjelaskan tentang bagaimana komunikasi interpersonal dan pesan yang disampaikan oleh media massa bekerja sama dalam mengembangkan opini publik (Morissan, 2010). Dijelaskan pula bahwa ketika orang akan mengemukakan opininya secara bebas, berarti ia merasa pandangannya mewakili pandangan yang populer, sedangkan jika ia merasa opininya tidak mewakili pandangan populer memilih untuk diam. Faktor yang membuat mereka diam ialah takut diisolasi ketika publik menyadari perbedaan pendapat serta ketakutan akan pembalasan atau isolasi yang lebih ekstrem, seperti kehilangan pekerjaan, dll.

Dalam teori spiral keheningan, peran media massa sangat penting dan berpengaruh bagi spiral kesunyian. Hal ini dikarenakan media massa merupakan salah satu sumber yang digunakan individu untuk menyalurkan opini publik. Menurut Neumann (1973) mengemukakan bahwa terdapat 3 cara media massa menjadi pengaruh dalam spiral keheningan, sebagai berikut:

1. Media massa membentuk opini secara dominan.

2. Media massa membentuk kesan tentang opini yang sedang meningkat.

3. Media massa membentuk kesan tentang opini yang dapat disampaikan kepada publik tanpa tersisihnya dengan opini lain.

Komentar